Terdengar ketukan pintu. Itu kamu, padahal malam sebentar lagi akan pergi. Aku terdiam. Tak nisa memutuskan, apakah harus membukakan pintu atau tidak.
Aku masih bisa melihatmu dari sini, dibalik korden jendela. Kemana akal sehatmu? Berdiri mematung di balik pintu, dan menahan dingin yang menusuk kulitmu.
Tak ada yang bisa kita bicarakan lagi. Tak bisakah kamu melihat? Ada aku, kamu dan dia. Cerita itu telah terkubur. Bukankah aku telah memilih dia? Bukan kamu?
Kamu pasti akan bertanya. " Kenapa? Bukankah, aku lebih perhatian?"
Aku akan diam, dan tak bergeming dari tempatku berdiri.
" Aku yakin akan ada kesempatan sekali lagi."
Kalimatmu berlanjut.
"Kamu, gila!" Seruku spontan
Rahangmu lantas mengeras. Aku bisa melihatnya. Itu kalau kamu mulai gusar. Ya, aku sangat mengenalmu.
"Aku selalu yakin, aku akan menunggumu."
Punggungmu mulai membelakangiku. Ada getar yang begitu hebat. Namun sayang aromamu tak lantas menghilang mengikuti jejakmu.
Ingatnku buyar seketika, ketika suara ketukan makin mengeras. Dasar gila!
Kegilaanmu semakin menjadi, meski aku tinggal menunggu waktu beberapa hari lagi menanggalkan lajangku.
-
"Aku akan menikah, ini undangannya. Aku harap kamu bisa datang." katamu beberapa tahun kemudian.
" Syukurlah, kamu sudah bisa melupakanku. Tentu aku akan datang." senyumku mengembang.
Kamu pun menggeleng, " Tentu tidak. Dasar bodoh!"
Aku mengernyit saat mendengar ucapannya barusan disertai senyum yang tak pernah berubah itu.
" Aku akan selalu mencintaimu. Meski kamu sudah mengeriput. Aku masih bersamamu. Meski aku harus menunggu kamu berpisah dengan dia."
Darahku tiba-tiba mendidih, rona mukaku mulai memerah. Aku menahan letupan yang akhirnya tak bisa kukalahkan.
Aku lantas berdiri, " Hentikan! Tak sepantasnya aku datang kemari untuk mengambil undanganmu. Kau keterlaluan. Aku sudah menikah!"
Aku berlalu dari hadapannya. Tak kupedulikan lagi teriakannya memanggilku. Dia keterlaluan!
Bersambung
No comments:
Post a Comment