 |
Novel Online My Love Destiny |
Novel Online My Love Destiny Sendiri
Dita mulai terbiasa menjalani hari tanpa Gilang. Meski terkadang, ingatannya datang. Dita berusaha menyibukkan diri, tenggelam dengan toko buku online dan naskah novel. Seperti pagi ini, sales dari distributor buku telah datang. Dia mengantar pesanan Dita yang lumayan banyak, untuk stok bulan ini.
Dita kemudian mengecek semua judul yang ada dalam faktur pembelian dengan buku yang ada di dalam kardus. Eko, nama sales itu pun membantu, dengan memisahkan buku yang telah dicek Dita, ke atas meja tamu. Dita menghembuskan nafasnya. Selesai.
"Gimana mbak? Apakah sudah cocok semua?"
Suara sales itu memecah keheningan. Mama memang sedang keluar kota, mengunjungi eyang putri di Klaten.
"Cocok mas." ujar Dita setelah membolak balik faktur itu berulang kali.
"Kalau begitu, silakan ditandatangani."
Eko menyodorkan bolpoin ke arah Dita. Dia lalu menandatangani masing-masing faktur. Tak butuh waktu lama, Dita mengulurkan faktur tersebut ke Eko. Tangan Lelaki itu pun dengan sigap memisah kopian faktur. Warna merah muda diserahkan ke Dita, dan dua yang lainnya, dimasukkan ke dalam map plastik.
"Monggo, diminum dulu mas."
"Terima kasih, mbak."
Setelah selesai minum es teh buatan Dita, dia segera berdiri dan mengambil tas ransel. Tas ransel itu cukup besar, sales biasanya membawa puluhan buku dan dimasukkan ke dalamnya.
Selepas Eko pergi, ponsel Dita berbunyi nyaring. Mama?
"Ya, Ma?"
Suara mama hampir tak terdengar, terlalu bising.
"Ta, mama pulang telat ya. Mungkin besuk siang sampai Jogja."
"Iya Ma."
"Jangan lupa makan."
Tut....
Telepon pun terputus. Memang kebiasaan mama, telepon pasti terputus sebelum dia sempat menjawab.
-
Kardus yang berisi buku didorong Dita masuk ke dalam kamar. Buku itu satu per satu diambil, setelah perekat penutup kardus disobek. Dita memisah buku sesuai judul buku, lalu meletakkan ke dalam etalase besar. Mata Dita memandang etalase tersebut dari atas ke bawah. Selesai. Etalase itu telah terisi penuh. Tumpukan telah rapi disusun. Punggung tangannya mengusap peluh di dahi. Udara sekarang, semakin panas. Meski kamar sudah ada kipas angin sebesar itu, juga tak berpengaruh.
Dita lalu duduk di lantai dengan bersandar pada dinding kamar. Matanya menangkap selembar kertas putih. Tangannya terjulur, untuk memungut dan membalikkan kertas itu. Foto. Selembar foto dengan gambar Dita dan Gilang di toko buku beberapa bulan yang lalu. Gilang sengaja meminta tolong pegawai memotret mereka berdua, dengan pose membawa buku. Mereka berdiri di depan rak berisi buku berderet.
Awalnya Dita tak mau, tapi Gilang memaksa. Katanya, agar Dita semakin bersemangat menyelesaikan naskahnya. Mewujudkannya menjadi sebuah buku, dengan nama Kilau Anindita di sampulnya. Akhirnya, Dita pun menurut, meski sembari berpikir, apa yang ada di dalam pikiran orang yang melihatnya? Ini kan bukan karya Dita?
Dita tak terlalu berani untuk bermimpi sejauh itu. Walau tak menampik keinginannya memang kuat untuk memiliki sebuah buku. Tepatnya, novel.
Dita mendengus pelan. Ini memang tak mudah. Melupakan seseorang yang sudah pernah mengisi hari-harinya. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Ingatannya tentang Gilang masih saja membayang, di setiap kesempatan. Jujur ini membuat Dita merasa gelisah.
Ah, ini baru berapa bulan? Wajar