a IkaMitayani: Kisah Pilu Anak Penderita HIV yang Tak Seharusnya Dikucilkan

29 June, 2015

Kisah Pilu Anak Penderita HIV yang Tak Seharusnya Dikucilkan

image



Hari ini saya tak berhenti gelisah, menangis sesenggukan, kebayang-bayang, sedih berkepanjangan. Padahal pekerjaan sebagai ibu dan usaha online sudah cukup menyita waktu, tapi artikel mengenai anak yang mengidap HIV dari orang tuanya, membuat saya, ah sudah, benar-benar tak keruan.

Awalnya saya membaca artikel lain di Tribun online. Saat artikel selesai, mata saya menangkap judul artikel di bagian sudut kiri bawah. Tulisannya kecil, tapi entah kenapa, saya tertarik ingin membacanya. Berkali-kali saya menahan diri, agar tidak menekan judul artikel itu. Namun saya menyerah juga.

Artikel itu ada 5-6 halaman, bercerita tentang anak yang mengidap HIV namun dikucilkan oleh orang di sekitarnya. Perut saya mulas, merinding, memanas, merinding. Orang yang bercerita adalah kakak kandungnya, sebut saja bernama Satrio, saat berada di makam adik bungsu yang baru saja meninggal karena HIV, dengan nama yang semuanya disamarkan berikut wajahnya. Tentu saya mahfum dengan hal ini. Dia duduk disana bersama adiknya yang berusia 12 tahun, yang beberapa waktu ikut kakak tertuanya, sementara adiknya yang satunya juga demikian. Adik yang tuna rungu itu menangis sesenggukan saat mengetahui Adi telah meninggal. Sementara Adi dan kakaknya Dimas ikut Satrio. ( nama ini adalah nama samaran agar memudahkan saya bercerita).

Saat adik bungsunya, sebut saja Adi, berusia 4 tahun, kedua orang tuanya yang terkena HIV memburuk kondisinya, dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya, keduanya tak terselamatkan lagi. Ayahnya menyusul Ibu yang meninggal sejam sebelumnya.

Beruntung, pihak rumah sakit, juga karyawannya sangat baik. Ada yang mengusulkan agar seluruh anak orang tua itu, diperiksa apakah ada yang terkena atau tidak. Ternyata ada. Kemungkinan saat hamil, ibunya tidak tahu kalau dirinya mengidap HIV.

Pihak rumah sakit juga membebaskan biaya pengobatan Adidan karyawan banyak yang patungan untuk biaya pulang pergi kakak beradik itu kalau ke rumah sakit, karena rumah sakitnya jauh. Menurut saya ini fakta yang mengharukan diantara berita negatif tentang rumah sakit yang sering mengeruk para pasien. Entahlah, yang jelas banyak yang kecewa dengan rumah sakit sekarang ini.

-

Kehidupan mereka, Satrio, Dimas kakaknya Adi, terbilang keras, setelah meninggalnya kedua orang tuanya, ditambah banyak orang yang mengetahui perihal adik bungsu yang HIV. Mereka bisa jadi takut tertular, hingga mengusir mereka dari kampung. Berpindah tempat, mulai kos sampai menginap ke rumah teman-temannya, setiap ada yang mengetahui adiknya yang sakit. Alasannya mereka takut tertular.

Bahkan saat kakaknya bekerja menjadi pengamen, kedua adiknya turut serta. Kalau keadaan tak memungkinkan, dia akan meninggalkan adiknya sebentar di warung. Mereka berpindah tempat dan kota. Kedua adiknya turut serta. Meski begitu, Satrio selalu rutin membawa Adi ke rumah sakit untuk periksa. Kadang Adi dan Dimas dia tinggal di rumah sakit tersebut ( keduanya sering menginap disana), dan dia bekerja mengamen. Terakhir, kondisi Adi ngedrop lagi dan menginap di rumah sakit selama 28 hari, anak yang terbilang ceria itu selalu minta disuapin bila di rumah sakit. Karyawan rumah sakit semuanya maklum, karena tentu dia kurang kasih sayang, ditambah lingkungan tidak mendukungnya.

Sehari sebelum Adi meninggal, dia meminta untuk bersama Satrio. Keinginan Adi pergi ke Jember dituruti oleh Satrio. Ketiganya pergi ke Jember. Namun tak berapa lama kondisi Adi menurun. Mereka membawa kembali ke rumah sakit. Berkali-kali Adi menyuruh Satrio keluar, lalu menyuruhnya kembali ke ruangan. Memyadari hal itu, Satrio berusaha menurutinya, dan mengatakan, kalau Adi mau pergi, dia ikhlas. Adi pergi ketika Satrio tertidur.

Meninggalnya Adi, Satrio bertekat untuk mencari pekerjaan lain. Alasan dia mengamen, agar dia bisa merawat kedua adiknya, dan tak meninggalkan Adi.

Ada kalimat yang seperti menghantam keras naluri saya, " Sekarang, banyak yang bersikap baik dengan saya, setelah Adi meninggal, untuk apa? Kenapa sekarang, tak ada gunanya sama sekali. Kenapa dulu justru meninggalkan kami?"



-

Perasaan saya benar-benar tak keruan. Bahkan saya sampai sesenggukan. Benar-benar tak bisa saya kendalikan. Ketika saya beraktivitas, semisal menyuapi anak saya yang bungsu, tiba-tiba saja ada bayangan, seolah saya melihat sendiri kejadiannya. Saya membayangkan, bagaimana Adi makan disuapin. Saya merasa jauh beruntung, anak-anak saya bisa tidur dengan baik, makan dengan baik. Tanpa kawatir akan ada yang mengusir. Tidak perlu tidur di jalan, berjuang demi nasi. Sendirian bertiga, menyusuri jalan. Entahlah, tak bisa membayangkan betapa sedihnya dia, ditolak dan diusir oleh kebanyakan orang yang tak paham mengenai HIV. Saya yakin dia juga pernah mendengar sendiri, atau kakaknya bercerita, entahlah.

Saya tak habis pikir, bagaimana mereka makan, mandi, ganti baju dan tidur. Apa iya, mereka membawa tas besar kemana-mana, berisi pakaian? Saya yakin, mereka sebenarnya punya rumah, jadi bisa saja pulang sewaktu-waktu, mengambil keperluan dan pergi. Hanya saja, karena diusir, mereka jadi tidak bisa pulang, dan hidup tak menentu di jalan. Bersyukur, masih saja ada yang berbaik hati memberikan tempat untuk menginap.


Mungkin saya akan butuh beberapa waktu. Sama seperti dulu. Saya memang tak bisa, bila mendengar atau membaca cerita yang berhubungan dengan anak. Terkadang saya berjuang mati-matian untuk tidak membaca atau mendengar, karena saya tahu akan seperti ini.

Saya berterima kasih dengan wartawan Tribun yang telah mengangkat kisahnya dan karyawan dan pihak rumah sakit, meski bisa dibilang terlambat, karena siapa tahu akan ada begitu banyak orang yang peduli. Bagi saya mereka pihak rumah sakit dn karyawan begitu peduli dengan kakak beradik itu, terutama Adi. Paling tidak dia tidak begitu bersedih. Sekarang, ada berapa banyak anak seperti Adi? Anak yang tidak beruntung dan harus dikucilkan. Menurut saya, seharusnya ada banyak orang terutama lembaga kesehatan, untuk sosialisasi juga mengedukasi masyarakat tentang HIV, agar mereka tidak dikucilkan. Program yang seharusnya ada sampai ke pelosok. Mungkin, entah kapan, saya ingin sekali berpartisipasi, karena bagi saya ini menyedihkan, usia yang tak lama tapi sudah menanggung begitu banyak hal yang tak seharusnya dia dera.

Semoga Adi bahagia dan tenang karena bertemu dengan ayah dan ibunya. Semoga dia juga menjadi pembuka pintu surga bagi yang menyayanginya, kelak. Semoga, banyak orang yang terbuka juga terketuk hatinya. Ternyata tak hanya di China, ada anak penderita HIV dari kedua orang tuanya yang tinggal sendiri di rumah bersama Anjing. Paling tidak, Adi tidak sendirian, ada kakak-kakak yang menyayangi dan menemaninya. Juga pihak rumah sakit dan karyawannya.


Satrio, kamu orang hebat, berjiwa besar dan bertanggung jawab dari pada orang diluar sana yang terlihat dewasa. Semoga banyak kebaikan besertamu, dipermudah rejekimu, untuk niatmu yang mulia, membesarkan adik-adikmu.

Mulai sekarang menajamkan semua indra yang dimiliki, memberitakan siapa saja yang tak beruntung dan membutuhkan bantuan. Siapa tahu, banyak yang terketuk hati untuk bersama-sama membantu. Apa pun itu.

2 comments:

  1. benar-beanr mengharukan mbak, besar sekali perjuangan mereka. memang ngga terbayang, bagaimana mereka bis abertahan hidup dalam keaadaan seperti itu. Malah sekarang saya semakin bersyukur dengan keadaan saat ini, masih bisa makan, tidur, mandi dengan nyaman.

    Simpati datangnya belakangan, kehilangan baru bermunculan, sama halnya seperti ambulan yang mengangkut orang sakit, mati2an berjuang sendirian ditengah macetnya jalanan, tapi beda jika ambulan tadi membawa jenazah, mobil dipandu oleh mobil.motor yang didepannya agar mendaptkan jalan. Padahal masa sakit lebih berharga

    ReplyDelete
  2. Iya betul, sampai berhari-hari, saya terus kepikiran, nasib mereka. Memang nasi sudah menjadi bubur. Yang ada hanya kata seandainya. Seandainya saja, berita ini diangkat sejak dulu, bisa jadi, keadaannya masih baik, siapa tahu banyak yang bisa menolongnya dan memberi rumah untuk tidur, dll. Karena ARV cukup membantu kondisi dia untuk tetap beraktivitas, meski tida menyembuhkan. Seandainya banyak yang peduli, bisa jadi dia akan hidup sampai sekarang. Karena pengusiram, pengucilan, sikap kebanyakan orang, kehidupan di jalan dan tak menentu, mulai dari makan, mikir mau tinggal dimana, dll, sangat mempengaruhi kondisinya. Saya kemarin gugling soal hiv di banyuwangi yang ternyata cukup banyak, banyak yang tetap hidup sampai sekarang karena, bisa jadi, dukungan keluarga, tinggal di dalam rumah, dll. Lingkungan yg mau mendemgar karena sudah dewasa atau kemungkinan lainnya. Masih banyak seandainya yang berderet. Berharap, kelak tak akan ada lagi anak yg bernasib serupa..... Saya sampai menangis terus menerus......

    ReplyDelete